Dalam kehidupan yang sudah kita jalani sampai saat ini menjadikan hati kita menjadi kotor, bercampur baur antara dunia dan akhirat dan segala macam kehidupan yang sudah terekam dalam perjalanan hidup ini, hal itu tercermin dalam pola pikir dan perilaku sehari-hari yang ada dalam diri kita.
Untuk membersihkannya dapat dikatakan gampang-gampang susah, yaitu memahami ayat-ayat suci, selalu ingat bahwa hidup ini hanya sementara, pasti mengalami mati dan mendatangi orang-orang yang berpaham pada satu Tuhan yaitu Tuhan sang Pencipta alam semesta ini. Bila hal diatas tidak juga dilakukan, maka hati menjadi gelap, jauh dari jalan kebenaran karena cintanya kepada dunia yang bercampur aduk bergabung antara haram dan halal, ini berakibat lenyapnya rasa malu kepada Tuhan dan enggan mendekatkan diri kepadaNYA.
Maka sebagai hamba Tuhan, kewajiban kita adalah mentaati ayat-ayat Tuhan yang telah disampaikan oleh utusanNYA, dan bila diterjemahkan dalam dunia bahwa bila kita sakit, segera mendatangi dokter dan diberikan nasihat dan obat untuk proses penyembuhannya, tentunya tidak akan mencapai kesembuhan bila belum melaksanakan perintah dokter tersebut.
Tuhan adalah pencipta penyakit dan obat. Durhaka itu penyakit dan taat itu sebagai obat, aniaya itu penyakit dan adil itu obatnya, salah itu penyakit dan benar itu obatnya, menentang Allah itu adalah penyakit dan tobat atas dosa itu adalah obatnya. Obat akan sempurna jika makhluk dapat dipisahkan dari hatimu, lalu jalinlah hubungan yang erat dengan Tuhan sang Pencipta.
Bila kita mensucikan diri, terapkanlah kesucian itu dalam hati (batin), kemudian otomatis akan mengalir dalam jiwa dan tubuh, karena petunjuk dalam kesucian dan kejernihan hati datang dari Tuhan, bukan dari lahir ke batin, apabila batin telah telah jernih, maka kejernihan itu akan berputar menuju hati, jiwa kemudian ke angota tubuh, makanan, minuman dan ke seluruh tingkah laku kita.
Manusia tidak akan dapat mendekati Tuhan sang Pencipta selama kita masih membawa kotoran (najis), tidak akan dapat mendekatkan diri bila bersama-sama benda-benda najis yang tersimpan dalam batin, suatu amalan tidak akan mendapatkan berkah rahmat sebelum termenung dalam jiwa yang bersih.
Gerakan lisan tanpa dibarengi dengan amalan hati tidak akan mampu mengajak mendekatkan diri kepadaNya. Perjalanan itu hanyalah perjalanan hati, kedekatan itu hanyalah kedekatan hati, amalan itu hanya berfungsi, menjaga hukum syariat itu melalui anggota tubuh dan berendah diri untuk selalu beribadah.
Siapa saja yang menjadikan lidahnya sebagai tolok ukur, maka hal itu tidak akan punya ukuran yang jelas, serba relatif. Semua obat terletak dalam penyerahan diri dihadapan Tuhan sang Pencipta, memutus kausalitas (hukum sebab akibat) dan mengosongkan diri dari tuhan-tuhan selain Tuhan sang Pencipta. Tetapi yang termanjur terletak dalam peng-Esaan Tuhan menurut hati bukan menurut ucapan. Tauhid terletak dalam hati, zuhud dihati, makrifat dihati, takwa dihati, pengetahuan tentang Tuhan sang pencipta dihati, cinta Tuhan dalam hati, dan dekat dengan Tuhan juga dalam hati bukan pada lisan, sekalipun lisan mengucapkan atau berdzikir beribu kali dalam sehari, tetapi jika dalam hatinya terbang kemana-mana, ingat harta benda dunia, ingat mahluk yang hina, maka ucapan itu seperti orang yang kesurupan, yang berbicara seenaknya tanpa dihayati makna yang terkandung didalamnya.
Bersambung...........
0 komentar:
Posting Komentar